c. Arbitrase adalah pihak-pihak perselisihan memilih penyelesaian oleh seorang wasit atau lebih (tentunya lalu dalam jumlah yang ganjil agar supaya kemungkinan kelebihan suara pada saat memutus, walaupun untuk (pemutusan ini sebaiknya digunakan cara bermusyawarah), wasit atau wasit-wasit dimana biasanya adalah ahli atau ahli-ahli di dalam lingkungan cabang perniagaan atau perusahaan yang bersangkutan.
Contoh Kasus Arbitrase :
Pemerintah Indonesia optimistis bakal memenangi arbitrase internasional kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sidang perdananya dijadwalkan berlangsung di Jakarta, Selasa (9/12). Namun, pemerintah RI terancam untuk membayar kewajiban senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 29 triliun.Besaran kewajiban tersebut terdiri atas segala biaya yang dikeluarkan NNT berdasarkan nilai buku dan beban atas 7.000 karyawan perusahaan tambang yang mayoritas sahamnya dikuasai Sumitomo Corp dan Newmont Corporation Ltd tersebut. Selain itu, pemerintah pun harus menyelesaikan kewajiban NNT terhadap pembeli yang terkontrak, pemasok, dan kreditor.
Kemungkinan pemerintah bakal rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini pun secara eksplisit tampak dalam perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken pemerintah RI dan NNT. Pasal 22 butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI pada 2 Desember 1986 menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama periode operasi atau sebagian akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini, semua harta kekayaan perusahaan, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam wilayah KK harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang besarnya sama dengan ongkos perolehan atau menurut harga pasar, mana yang lebih rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah dari nilai buku.
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Bambang Setiawan mengatakan, bila pemerintah Indonesia memenangi gugatan, pihaknya tidak mempersoalkan sekiranya harus memenuhi kewajiban yang diputuskan dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,” ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah.
Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
Dalam proses penawaran saham mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK khususnya pasal 24 antara pemerintah dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain soal saham NNT yang digadaikan kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui pemerintah Indonesia pada 1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan pemerintah Indonesia secara bersamaan dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke ke arbitrase.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan pemerintah harus membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli perusahaan tersebut dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya secara tunai. Diangsur saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.
Dirut PTBA Sukrisno mengatakan, pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar terkait usulan pemerintah mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum tahu asal usul kedudukan NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan dibicarakan lebih lanjut antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining Corporation Omar Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS, Minggu (7/12) tak bersedia memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo kepada Investor Daily, kemarin, mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin memberikan kesempatan bagi proses penyelesaian atas perbedaan melalui arbitrase yang bebas dari sorotan dan spekulasi di media massa.
“Untuk itu, pada saat ini, kami tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang berhubungan dengan arbitrase dan divestasi PT NNT,” ujarnya.
Pemerintah Kalah
Secara terpisah, Direktur Centre for Indonesian Mining and Resources Law Ryad A Chairil mengungkapkan, pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan arbitrase NNT. Sejak 17% saham itu ditawarkan, menurut Ryad, pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa menunjukkan dengan jelas pihak mana yang akan membeli saham tersebut.
“Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui tidak cukup uang untuk menebus 17% saham Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase tersebut adalah cara elegan untuk membebaskan pemerintah dari hak pertama membeli saham dan membolehkan Newmont menawarkan pada pihak lain yang mampu membeli saham tersebut,” katanya.
Pemerintah disarankan menunjuk BUMN yang memiliki kemampuan secara finansial untuk mengakuisisi saham Newmont. Ryad menambahkan, pemerintah salah fatal dan melanggar kesepakatan yang tertera dalam KK terkait dugaan lalai (default) yang diajukan Dirjen Minerbapabum (saat itu Simon Felix Sembiring) terkait belum tuntasnya penawaran 17% saham NNT kepada pemda.
“Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak tidak sedang terlibat dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan tersebut,” ujarnya. (c122)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar