A. PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI JALUR LITIGASI
Dalam menjalankan kegiatan bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu hal yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis sudah mulai mengantisipasi atau paling tidak mencoba meminimalisasi terjadinya sengketa. Langkah yang ditempuh adalah dengan melibatkan para penasehat hukum (legal adviser) dalam membuat dan ataupun menganalisasi kontrak yang akan ditanda tangani oleh pelaku usaha. Yang menjadi soal adalah, bagaimana halnya kalau pada awal dibuatnya kontrak, para pihak hanya mengandalkan saling percaya, kemudian timbul sengketa, bagaimana cara penyelesaian sengketa yang tengah dihadapi pebisnis.
Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa dekade yang lampau jika ada sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut membawa kasusnya ke lembaga peradilan ditempuh, baik lewat prosedur gugatan perdata maupun secara pidana. Jika pilihannya penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan, para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat melalui pengadilan. Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang mendalilkan, wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865 KUHPdt yang mengemukakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Untuk itu, jika penyelesaian sengketa bisnis dipilih lewat lembaga peradilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangan, yakni pihak penggugat wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Di samping itu, penggugat harus tahu persis di mana tempat tinggal tergugat, sebagai gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat, Asas ini dikenal dengan istilah Actor Secuitor Forum Rei.
Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi :
Mencermati penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, butuh waktu dan biaya yang cukup mahal, lalu apakah mungkin penyelesaian sengketa bisnis oleh pihak ketiga ataupun suatu lembaga swasta sebagai suatu alternatif? Jawabannya sangat mungkin, yakni melalui lembaga arbitrase. Lembaga ini sering pula disebut lembaga perwasitan. Para anggota dari lembaga arbitrase terdiri dari berbagai keahlian, antara lain, ahli dalam perdagangan, industri, perbankan, dan hukum.
Sebenarnya, masalah penyelesaian sengketa bisnis atau perdagangan melalui lembaga arbitrase bukanlah sesuatu hal yang baru dalam praktek hukum di indonesia. Disebut demikian karena pada zaman hindia Belanda pun sudah dikenal. Hanya saja, pada waktu itu berlaku untuk golongan tertentu saja sehingga pengaturan lembaga ini pun diatur tersendiri yakni dalam hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang termuat dalam reglement op de rechtelijke rechtsvordering (RV). Dalam Pasal 615 Rv ditegaskan adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter).
Apabila diperhatikan secara sepintas isi Pasal tersebut, seolah-olah setiap sengketa dapat diselesaikan oleh lembaga ini, tetapi tidaklah demikian halnya karena yang dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah hanya yang menyangkut kekuasaan para pihak yang bersengketa, yakni tentang hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian. Untuk itu ada baiknya perlu diperhatikan asas yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang mengemukakan bahwa :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Jadi apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berjanji, maka bagi mereka hal tersebut dianggap merupakan suatu undang-undang yang harus ditaati. Dalam praktek dunia bisnis yang berlaku sekarang, sudah ada suatu standar kontrak yang baku, karenanya para pihak tinggal mempelajarinya, apakah ia setuju atau tidak terhadap syarat-syarat yang tercantum dalam kontrak tersebut. Biasanya dalam standar kontrak dicantumkan suatu klausul bahwa apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan penafsiran tentang isi perjanjian, akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase (badan perwasitan). Hal ini berarti sejak para pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut, sudah menyatakan diri bahwa perselisihan yang mungkin akan terjadi diselesaikan oleh lembaga arbitrase.
Tetapi, dapat pula terjadi bahwa dalam suatu kontrak tidak ada klausul tersebut, tetapi jika dikehendaki oleh para pihak apabila ada perselisihan masih dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase, yakni berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, tetapi harus dibuat secara tertulis. Adapun tugas lembaga arbitrase adalah menyelesaikan persengketaan yang diserahkan kepadanya berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
B.1.2. Badan arbitrase Nasional Indonesia
Apabila dikaji terlebih jauh tentang tugas dan peranan lembaga arbitrase ini, ternyata yang paling membutuhkan adalah para pengusaha sehingga kalau diperhatikan, pusat-pusat lembaga arbitrase di negara-negara industri yang telah maju, seperti Jepang, dikenal The Japan comercial arbitration Association yang berkedudukan di Tokyo; di USA dikenal dengan The American Arbitration association yang berkedudukan di New York, sedangkan pusat arbitrase internasional yang paling tua dan terkenal adalah court of Arbitration of the International Chamber of Commerce yang didirikan sejak tahun 1919 dan berkedudukan di Paris.
Bagaimana halnya dengan Indonesia, apakah sudah ada lembaga arbitrase yang permanen? Rupa-rupanya para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang notabene adalah juga anggota dari Kamar Dagang International (The International chamber of Commerce) ingin mendirikan lembaga tersebut secara permanen. Usaha ini ternyata berhasil pada tahun 1877 di Indonesia telah berdiri lembaga arbitrase yang diberi nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Hubungan antara Kadin dan BANI erat sekali, masalah ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 1 Anggaran Dasar BANI yang mengemukakan:
“Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa kamar dagang dan industri (Kadin), yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang bersifat nasional dan bersifat internasional.”
Melihat tujuan dibentuknya BANI adalah menyelesaikan sengketa perdata yang cepat dan adil, mungkin timbul pertanyaan apakah BANI dapat dipaksakan andai kata para pihak tidak mematuhinya? Dalam hal ini, peraturan prosedur BANI menentukan bahwa jika suatu putusan telah dijatuhkan, namun para pihak tidak memenuhinya, ketua BANI dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum mana putusan BANI telah ditetapkan agar putusan BANI dapat dijalankan.
Jika dicermati dalam praktik dunia bisnis yang berkembang dewasa ini, tampak bahwa dalam suatu kontrak apakah ia yang sudah baku ataupun belum sudah ada suatu klausul arbitrase, artinya jika timbul perselisihan akan diselesaikan oleh lembaga ini. Tampaknya, penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (Out of Court Settlement) semakin banyak diminta sebab ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yakni prosedurnya cukup cepat dan rahasia perusahaan lebih terjamin. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dikenal dengan Alternative Dispute Resolution atau Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR atau MAPS). Asas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu putusan harus dijalankan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.
Di Indonesia sendiri, penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138 tahun 1999 tanggal 12 Agustus 1999. selanjutnya, disebut UUAPS.
sumber : www. google.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar