VIVAnews - Bisa selamat dari peristiwa tragis
runtuhnya Jembatan Kartanegara seperti mukjizat bagi Aji Titin (32).
Wanita itu tak bisa berenang. Dia bahkan pasrah ketika tubuhnya timbul
tenggelam di tengah Sungai Mahakam.
Namun, sebuah tangan yang
seperti dewa penolong baginya membuat harapan hidup menggelora. Titin
lolos dari maut meski tulang punggungnya patah dan menderita kesakitan
hebat.
Senin 28 November 2011, Titin masih beristirahat di
ruangan Asoka 2, RS. Parikesit, Tenggarong. Dia ditemani suaminya,
Rendra Fadli, dan anak sulungnya. Tubuhnya lebih segar ketimbang hari
pertama ditemukan.
Walaupun begitu, Titin masih belum bisa
duduk dengan nyaman. Tulang punggungnya yang patah membuat dia merasa
kesulitan untuk menggerakkan badan.
Sore yang seharusnya cerah
itu, Aji baru saja pulang dari kantornya. Sehari-harinya, wanita itu
merupakan Asisten Dosen di Samarinda. Titin bertolak dari Ibukota
Provinsi Kaltim itu sekitar pukul 15.30 Wita. Begitu pekerjaannya
kelar, dia langsung berangkat. Dari tempatnya bekerja di Samarinda Jl.
Jenderal Sudirman, wanita itu memerlukan waktu 1 jam untuk sampai ke
jembatan.
Di jembatan, waktu itu dia lihat jalanan macet,
kendaraan merayap memasuki jembatan layang. Motornya baru saja melewati
antrean. Di depannya, terbentang jembatan.
Tak seperti
biasanya, sore itu kendaraan mesti meluncur dengan pelan. Namun, petaka
terjadi ketika dia masih berada di ujung jalan masuk jembatan tersebut.
Tanpa tanda apapun badan jembatan di bawahnya runtuh.
Titin
tak kuasa bereaksi. Tubuhnya meluncur deras ke bawah, mengikuti patahan
badan jembatan. Badan kecilnya menghantam aspal dan membentur besi
penyangga badan jembatan. Rasa sakit luar biasa dirasakannya di sekujur
tubuh.
“Saya tenggelam bersama dengan material jembatan. Saya
beruntung, karena berada paling belakang, dan tak terperosok duluan ke
bawah,” katanya.
Di dalam air, Titin bertarung melawan maut. Dia
tersedot arus air yang deras, ditambah lagi dengan tekanan air yang
luar biasa akibat benda ribuan ton jatuh ke dalam air. Tubuh Titin
timbul tenggelam di dalam air. Dia kesulitan untuk bernafas.
Helm
yang dikenakannya semakin membuat kondisinya terjepit. Titin berusaha
untuk melepaskan pengait helm. “Helmnya susah dibuka, pengaitnya
macet,” ujarnya.
Berhasil membuka helm, Titin lantas berusaha
untuk mencari pegangan. Dia terus menggerakkan kaki dan tangannya.
Namun, kondisinya yang lemah membuat dia timbul dan tenggelam. Beberapa
saat berada di dalam air, akhirnya Titin mulai bisa menguasai diri. Dia
tersadar ketika tubuhnya hanyut cukup jauh dari jembatan.
“Saya menoleh ke jembatan. Tapi, hanya ada besi kuning dan tali penahan tiang,” katanya.
Yang
dimaksud besi kuning oleh Titin adalah tiang yang menjadi penyangga
utama dari jembatan dan tali seling besar yang sebelumnya menjadi
penyangga badan jembatan.
Ketika itu dia sudah pasrah dan hanya
bisa menggerakkan kaki dan tangan. Titin tak bisa berenang. Namun,
instingnya menyebutkan bahwa dia harus menggerakkan kaki dan tangan
untuk tetap terapung di permukaan sungai.
Wanita beranak dua
itu tak tahu berapa lama dia berada di sungai. Semua badannya terasa
sakit. Tangannya mulai berat untuk digerakkan. Kakinya juga sulit untuk
terus digerakkan.
Titin tenggelam lagi. Dalam hatinya, wanita
itu terus mengucapkan kalimat menyebut nama Allah. Dia beristighfar
dan berusaha untuk menenangkan diri. Meski begitu, lama-kelamaan Titin
mulai merasa sangat kelelahan. Dia terpikir bahwa saat itu adalah
waktunya untuk “dipanggil”.
“Di sekeliling saya waktu itu ada
kelihatan sebuah kapal tug boat yang tenggelam. Saya juga sempat lihat
ada laki-laki memakai baju hitam timbul-tenggelam di air sambil
berteriak meminta tolong. Saya diam aja, karena saya pikir ndak mungkin
ada yang nolong. Kan kejadiannya baru saja,” tuturnya.
Dalam
hatinya, Titin berusaha membangkitkan motivasi. Dia berucap pelan bahwa
saat ini belum waktunya “pergi”. “Hati saya bilang, awak masih hidup.
Awak masih hidup,” imbuhnya.
Selanjutnya, pertolongan pun
tiba. Ketika tangannya tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya untuk
tetap terapung di air, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari atas dan
menangkap lengannya. Titin merasa tubuhnya seperti ditahan. Dia
berusaha menengadah dan melihat ke atas.
Seorang pria datang
dengan gubang atau perahu kecil. Pria itu menarik tubuh Titin. Kepada
Titin, pria tersebut bilang supaya Titin berpegangan ke pinggir perahu
dan naik ke atasnya. Titin seperti mendapatkan tenaga. Dengan sisa-sisa
tenaga terakhir yang dimilikinya, dia berusaha untuk naik ke atas
perahu.
“Saya betul-betul sudah habis. Ndak bisa bergerak lagi. Orang itu bilang, istighfar. Kamu sudah selamat. Saya lantas ber-istighfar sebanyak mungkin dari dalam hati,” ujarnya.
Titin
lalu mendengar bahwa pria yang menggunakan gubang itu berteriak. Dia
memanggil temannya. Temannya itu membawa perahu bermesin. Lalu, Titin
merasa tubuhnya ditarik ke atas dan direbahkan di perahu.
“Waktu
itu baru terasa betapa sakitnya punggung belakang saya. Sakitnya bukan
main. Saya mengaduh. Sesampainya di dermaga, saya lalu diangkat. Waktu
diangkat, saya bilang punggung saya sakit. Lalu, ada sekitar 8 orang
yang mengangkat saya sampai betul-betul tidak ada celah untuk punggung
saya. Dengan cara begitu, baru saya merasa sedikit nyaman,” kata Titin.
Titin
menderita patah tulang punggung nomor 1. Dia sempat hendak dioperasi.
Namun, dokter kemudian menyarankan agar operasi tidak dilakukan, sebab
resiko yang kemungkinan cukup besar. Oleh dokter, dia hanya disarankan
untuk beristirahat dan meminum obat. Titin merasa bahwa dia masih
diberikan kesempatan. Banyak sekali pertolongan yang dia dapatkan. Yang
paling utama adalah, dia tak tenggelam meski tak bisa berenang.
“Saya berharap bertemu dengan penyelamat saya. Dia benar-benar perpanjangan tangan untuk menolong saya,” ucap Titin.
sumber :vivanews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar