Jakarta - Terjebak kemacetan di jalanan Jakarta
dirasakan semua orang, tak terkecuali Inspektur Jenderal Suhardi Alius.
Sebagai pejabat Polri yang memiliki kesibukan luar biasa, Suhardi harus
punya 'siasat' agar terhindar dari macet.
Kemacetan Jakarta
antara lain pernah ia rasakan ketika menjabat sebagai Wakil Kepala
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Suhardi
terkenang saat dia harus berada di rumah dinas Kapolri Jenderal Timur
Pradopo di Jalan Patimura, Jakarta Selatan. Padahal saat itu posisi dia
masih di kawasan Blora, Jakarta Pusat.
Di balik kenangan itu,
tersimpan hal-hal lucu yang membuatnya tertawa geli. "Waktu itu saya
sedang naik mobil di kawasan Blora, Jakarta Pusat dan waktu itu macet
total. Tiba-tiba saya dipanggil disuruh menghadap ke rumah Kapolri,"
kata Suhardi.
Dari Jalan Blora menuju Jalan Pattimura, Suhardi
harus melewati kawasan Sudirman. Nah, saat itu kawasan Sudirman padat
kendaraan karena sedang dalam jam sibuk. Alih-alih meminta bantuan
sepeda motor pengamanan dan pengawalan (Pamwal), Suhardi malah
memanggil tukang ojek. Hal ini sampai membuat ajudannya kalang kabut.
"Ajudan saya sampai cari-cari saya, 'kemana bapak'," ujar Suhardi sambil tertawa.
Polisi
yang kini menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Polri ini tidak masalah
dengan debu dan polusi saat naik ojek. Dia juga tidak mempermasalahkan
ongkos yang diminta tukang ojek.
"Mintanya lima puluh ribu
(rupiah), saya kasih seratus ribu (rupiah) yang penting cepat tiba di
rumah Kapolri," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Kapolres Jakarta
Barat ini.
Bagi mantan Sespri Jenderal Sutanto saat menjadi
Kapolri ini, tidak masalah bila harus 'menunggang' ojek ketimbang harus
naik motor pengawalan. Selain body-nya yang besar, motor pengawalan
dinilainya sia-sia jika kondisi jalanan sudah sangat padat nyaris tak
bergerak.
"Ya kalau situasinya masih memungkinkan dijangkau
motor pengawalan, saya naik motor pamwal. Tetapi kalau sudah
benar-benar stuck mendingan naik ojek, lebih lincah. Kalau naik motor
pengawalan nggak bisa selap-selip. Rotator juga tidak bisa mengurai
macet kalau sudah stuck, yang ada nanti dimarahi masyarakat," jelas
pria kelahiran Jakarta ini.
Rupanya naik ojek tidak hanya
dilakukannya sekali saja. Ketika hendak menuju lokasi demo buruh di Tol
Cikarang, Suhardi juga memilih naik ojek. Saat itu ada penutupan jalan
di sekitar lokasi demo.
"Saya akhirnya naik ojek karena harus
segera berada di tengah-tengah masyarakat yang berdemo," imbuh pria
yang memiliki hobi bersepeda ini.
Sebagai perwira tinggi yang
bertugas dengan pakaian dinasnya, ia tidak merasa malu atau gengsi
menaiki ojek. "Masyarakat juga bisa menilai bapak ini pasti ada sesuatu
makanya naik ojek. Ojek itu sarana yang sangat mudah dan murah untuk
Jakarta ini," kata dia.
Sebagai mantan orang nomor dua di Polda
Metro Jaya, Suhardi kerap bertukar pikiran dengan Kapolda Metro Jaya
Irjen Untung S Rajab. Selama 'bersandingan' dengan Untung, Suhardi
mengaku belajar banyak dari mantan Kapolda Jawa Timur itu.
"Pengalaman
kita dengan dinamikanya Jakarta, saya alami. Jadi kita mesti arif dalam
mengambil sikap. Saya salut sama Mas Untung ini, beliau membawa satu
pemikiran yang bagus," kata pria yang akrab disapa Hardi ini.
Dari
Untung, Suhardi belajar bagaimana menstrukturisasi permasalahan yang
ada. Ia juga belajar bagaimana memahami persoalan yang tidak harus
selalu diselesaikan dengan penegakan hukum.
"Ada permasalahan di
hulu, sekalipun itu bukan masalah kepolisian. Seperti unjuk rasa buruh,
itu kan kenapa buruh itu unjuk rasa, ini artinya ada komunikasi yang
tersumbat dengan pihak pengusaha. Nah ini yang dilakukan Mas Untung,
mengumpulkan buruh-buruh itu untuk mengetahui permasalahannya," jelas
Suhardi.
Selama bertugas di Polda Metro Jaya, Suhardi mengaku
bisa berkomunikasi baik dengan untung. "Saya sering didelegassikan oleh
Kapolda untuk belajar mengelola itu semua. Satu hal pimpinan harus
berani mengecek satuan-satuannya. Ada dampak positifnya ketika saya
sidak, ketahuan aslinya," kata dia.
Dari Untung pula, Suhardi
belajar menjadi pemimpin yang tegas. Dia teringat ketika suatu hari
mencopot anggota yang melakukan kesalahan. Celakanya, ia justru
mendapat 'teguran'. Namun teguran itu justri membuat pikirannya terbuka
menyikapi permasalahan.
"Mas, saya copot anggota ini nakal.
Marah beliau, 'Hardi, kenapa cuma satu, kenapa nggak semuanya'.
Dimarahi tapi benar. 'Tindakanmu benar tapi kenapa cuma satu orang,
kenapa tidak ke atasnya juga. Masih bisa dibina nggak, kalau tidak
jangan jadi virus nanti. Kalau itu satu kemudian yang lain itu baik,
kenapa tidak'. Makanya tugas pemimpin itu sebagai evaluasi juga," tutur
Suhardi.
Tenang Hadapi Wartawan
Berbeda
ketika menjabat sebagai Wakapolda Metro Jaya, Suhardi kini harus lebih
sering tampil di depan publik, menghadapi wartawan. Maklum, dialah juru
bicara bagi Korps Bhayangkara.
Menghadapi 'serangan' pertanyaan
wartawan, Suhardi mengaku tetap tenang. "Tidak boleh grogi, itu
konsekuensinya (jadi juru bicara Polri)," katanya.
Sebagai juru
bicara Polri, Suhardi akan menyampaikan segala informasi terkait Polri
secara transparan dan akuntabel. "Sepanjang kita punya fakta yang
cukup, sampaikan dengan etis dan tidak emosional. Semua saya rasa tidak
masalah," ujarnya.
Source : www.detik.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar