Jumat, 26 Oktober 2012

Irjen Suhardi Alius Pilih Naik Ojek Daripada Motor Pamwal Saat Macet

Jakarta - Terjebak kemacetan di jalanan Jakarta dirasakan semua orang, tak terkecuali Inspektur Jenderal Suhardi Alius. Sebagai pejabat Polri yang memiliki kesibukan luar biasa, Suhardi harus punya 'siasat' agar terhindar dari macet.

Kemacetan Jakarta antara lain pernah ia rasakan ketika menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Suhardi terkenang saat dia harus berada di rumah dinas Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Jalan Patimura, Jakarta Selatan. Padahal saat itu posisi dia masih di kawasan Blora, Jakarta Pusat.

Di balik kenangan itu, tersimpan hal-hal lucu yang membuatnya tertawa geli. "Waktu itu saya sedang naik mobil di kawasan Blora, Jakarta Pusat dan waktu itu macet total. Tiba-tiba saya dipanggil disuruh menghadap ke rumah Kapolri," kata Suhardi.

Dari Jalan Blora menuju Jalan Pattimura, Suhardi harus melewati kawasan Sudirman. Nah, saat itu kawasan Sudirman padat kendaraan karena sedang dalam jam sibuk. Alih-alih meminta bantuan sepeda motor pengamanan dan pengawalan (Pamwal), Suhardi malah memanggil tukang ojek. Hal ini sampai membuat ajudannya kalang kabut.

"Ajudan saya sampai cari-cari saya, 'kemana bapak'," ujar Suhardi sambil tertawa.

Polisi yang kini menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Polri ini tidak masalah dengan debu dan polusi saat naik ojek. Dia juga tidak mempermasalahkan ongkos yang diminta tukang ojek.

"Mintanya lima puluh ribu (rupiah), saya kasih seratus ribu (rupiah) yang penting cepat tiba di rumah Kapolri," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat ini.

Bagi mantan Sespri Jenderal Sutanto saat menjadi Kapolri ini, tidak masalah bila harus 'menunggang' ojek ketimbang harus naik motor pengawalan. Selain body-nya yang besar, motor pengawalan dinilainya sia-sia jika kondisi jalanan sudah sangat padat nyaris tak bergerak.

"Ya kalau situasinya masih memungkinkan dijangkau motor pengawalan, saya naik motor pamwal. Tetapi kalau sudah benar-benar stuck mendingan naik ojek, lebih lincah. Kalau naik motor pengawalan nggak bisa selap-selip. Rotator juga tidak bisa mengurai macet kalau sudah stuck, yang ada nanti dimarahi masyarakat," jelas pria kelahiran Jakarta ini.

Rupanya naik ojek tidak hanya dilakukannya sekali saja. Ketika hendak menuju lokasi demo buruh di Tol Cikarang, Suhardi juga memilih naik ojek. Saat itu ada penutupan jalan di sekitar lokasi demo.

"Saya akhirnya naik ojek karena harus segera berada di tengah-tengah masyarakat yang berdemo," imbuh pria yang memiliki hobi bersepeda ini.

Sebagai perwira tinggi yang bertugas dengan pakaian dinasnya, ia tidak merasa malu atau gengsi menaiki ojek. "Masyarakat juga bisa menilai bapak ini pasti ada sesuatu makanya naik ojek. Ojek itu sarana yang sangat mudah dan murah untuk Jakarta ini," kata dia.

Sebagai mantan orang nomor dua di Polda Metro Jaya, Suhardi kerap bertukar pikiran dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Untung S Rajab. Selama 'bersandingan' dengan Untung, Suhardi mengaku belajar banyak dari mantan Kapolda Jawa Timur itu.

"Pengalaman kita dengan dinamikanya Jakarta, saya alami. Jadi kita mesti arif dalam mengambil sikap. Saya salut sama Mas Untung ini, beliau membawa satu pemikiran yang bagus," kata pria yang akrab disapa Hardi ini.

Dari Untung, Suhardi belajar bagaimana menstrukturisasi permasalahan yang ada. Ia juga belajar bagaimana memahami persoalan yang tidak harus selalu diselesaikan dengan penegakan hukum.

"Ada permasalahan di hulu, sekalipun itu bukan masalah kepolisian. Seperti unjuk rasa buruh, itu kan kenapa buruh itu unjuk rasa, ini artinya ada komunikasi yang tersumbat dengan pihak pengusaha. Nah ini yang dilakukan Mas Untung, mengumpulkan buruh-buruh itu untuk mengetahui permasalahannya," jelas Suhardi.

Selama bertugas di Polda Metro Jaya, Suhardi mengaku bisa berkomunikasi baik dengan untung. "Saya sering didelegassikan oleh Kapolda untuk belajar mengelola itu semua. Satu hal pimpinan harus berani mengecek satuan-satuannya. Ada dampak positifnya ketika saya sidak, ketahuan aslinya," kata dia.

Dari Untung pula, Suhardi belajar menjadi pemimpin yang tegas. Dia teringat ketika suatu hari mencopot anggota yang melakukan kesalahan. Celakanya, ia justru mendapat 'teguran'. Namun teguran itu justri membuat pikirannya terbuka menyikapi permasalahan.

"Mas, saya copot anggota ini nakal. Marah beliau, 'Hardi, kenapa cuma satu, kenapa nggak semuanya'. Dimarahi tapi benar. 'Tindakanmu benar tapi kenapa cuma satu orang, kenapa tidak ke atasnya juga. Masih bisa dibina nggak, kalau tidak jangan jadi virus nanti. Kalau itu satu kemudian yang lain itu baik, kenapa tidak'. Makanya tugas pemimpin itu sebagai evaluasi juga," tutur Suhardi.

Tenang Hadapi Wartawan

Berbeda ketika menjabat sebagai Wakapolda Metro Jaya, Suhardi kini harus lebih sering tampil di depan publik, menghadapi wartawan. Maklum, dialah juru bicara bagi Korps Bhayangkara.

Menghadapi 'serangan' pertanyaan wartawan, Suhardi mengaku tetap tenang. "Tidak boleh grogi, itu konsekuensinya (jadi juru bicara Polri)," katanya.

Sebagai juru bicara Polri, Suhardi akan menyampaikan segala informasi terkait Polri secara transparan dan akuntabel. "Sepanjang kita punya fakta yang cukup, sampaikan dengan etis dan tidak emosional. Semua saya rasa tidak masalah," ujarnya.

Source : www.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar